Kamis, 15 September 2016

SAYA BETAH DI DAPUR






Saya suka masak , tapi bukan Chef Profesional. Saya laki-laki biasa yang suka bereksperimen di dapur, dan tentunya makan enak........ 
Tulisan di Majalah Femina ini, mungkin cukup menggambarkan seperti apa itu. Supaya lebih menarik diberi beberapa foto.
 
 
Bahkan tiap minggu, dari sisa belanja, paling tidak saya bisa mendapat keuntungan 50 dolar. Tentu saja , teman-teman tak tahu itu……

Sekarang bukan zamannya lagi memasak menjadi monopoli wanita. Malah kebalikannya, banyak wanita sekarang  justru  enggak  bisa memasak (dengan berbagai alasannya). Apalagi setelah Oom Bondan Winarno dengan jurus ‘maknyus’-nya, rajin  tampil di televisi. Makin banyak pria tampil dengan ketrampilan memasaknya di televisi. Keahlian  yang katanya jadi nilai plus buat kaum adam. Terlihat romantis dan seksi, itu katanya para wanita.

Lepas dari soal keseksian itu, bisa memasak ternyata banyak keuntungannya buat saya. Padahal , bukan karena sengaja saya bisa memasak. Dari kecil tinggal bersama kakek saya yang suka memasak, membuat saya juga sedikit banyak  akrab dengan dapur.

Sayangnya, jurus memasak saya kurang laku di mata istri. Justru kalau kami berdua di dapur biasanya yang ada  malah ribut. Maklum , ‘jurus’ memasak kami berbeda. Istri saya lebih suka memasak cepat dan mudah, sedangkan saya tidak masalah dengan berlelah-lelah,yang penting enak. Karena ingin cepat-cepat itulah, ia sering kurang teliti. 

Suatu kali saat baru nikah , untuk makan malam, istri memasak sayur kacang merah atau angeun kacang kalau di Bandung. Begitu dicicipi, rasanya, kok aneh ya?  Kuah sayur itu kemudian dibuang, lalu istri memasak ulang. Eh, rasanya tetap aneh! Cek punya cek, ternyata ia salah memasukan daun jeruk ke dalam sayur, yang seharusnya daun salam. Begitu tahu kesalahannya, istri saya ngambek   mogok masak selama  beberapa hari. Kayaknya, sih, malu,ha….ha…..

Karena gaya memasak yang sama, saya malah akrab dengan mertua yang tinggal di Bandung. Waktu pacaran , saya beberapakali  memasak di rumahnya. Untuk acara tahun baru, misalnya. 

Sampai sekarang , saya biasa bertukar resep dengannya. Terkadang , untuk konsultasi masakan baru, saya langsung interlokal ke Bandung. Masakan gule kambing favorit saya pun kemudian  masuk dalam daftar masakan wajib saat Lebaran dalam keluarga mereka, yang sebenarnya bukan penggemar daging kambing.

Kebolehan saya dalam hal memasak juga ‘bocor’ sampai ke luar negeri. Mengetahui saya punya ketrampilan di dapur, saat mengikuti kursus profesi di Melbourne, Australia,  teman-teman sesama peserta  kursus, mendaulat saya menjadi petugas katering. Unit apartemen saya disulap sebagai tempat makan setiap malam. Jadilah setiap hari saya harus memasak untuk 7 orang, yang masing-masing ‘iuran’ 25 dollar tiap minggu .

Karena memang suka ( dan tentu juga bangga dengan ketrampilan ini) , sya rela belanja berbelanja  barang kebutuhan ‘katering’ dadakan ini. Dan,  tiap malam pun terhidang masakan! Mulai dari spaghetti, cap cay, semur ayam, sampai tim ikan asin. Hebatnya lagi karena saya juga putar otak untuk berhemat, uang saku sayapun tetap utuh. Bahkan , tiap minggu, dari sisa belanja, paling tidak saya bisa mendapat  keuntungan 50 dollar. Tentu saja , teman-teman tak tahu itu, ha…ha…ha… !


Teman baru , Ovi yang kenal di Melbourne ternyata jago masak

Suatu ketika , saat sedang mencari kecap asin di sebuah supermarket, seorang pria bertubuh pria bertubuh gempal dan menyeramkan menyapa  saya dengan bahasa Indonesia, “ Kecap asin merek itu , sudah paling bagus disini !“ 

Ha….  ! Ternyata, pria itu orang Bali. Agus namanya, pemilik Restoran Warung Agus di Victoria Street dan sudah puluhan tahun tinggal di Australia. Tahu saya suka masak , ujung-ujungnya,  Agus sering mengajak makan  di restorannya. Selama dua bulan  di Melbourne , saya bisa makan enak dengan potongan harga gila-gilaan. Setiap kali saya datang, Agus pasti meninggalkan dapurnya , untuk mengobrol  berbagai hal, mulai dari politik sampai soal masakan tentunya.


Warung Agus di Melbourne


Bukan sekali dua kali , saya mendapat teman,   dari urusan masak memasak ini. Saat mengikuti suatu  workshop PBB di  Bangkok, saya menyisihkan waktu berjalan-jalan di pasar Pratunam. Melihat peralatan dapur stainless stel dengan harga murah , tanpa banyak pikir saya langsung memborong , termasuk sepasang panci steamboat untuk menyajikan  makanan khas Thailand.

Kerepotan justru muncul saat saya akan  membawanya pulang ke Indonesia. Ditaruh di bagasi, saya kawatir penyok. Akhirnya, saya tenteng saja panci-panci itu ke kabin pesawat. Pramugari pesawat berbasa-basi menanyakan barang bawaan saya. Langsung saya jawab apa adanya. Pramugarinya tertawa… dan lebih tertawa lagi ketika saya bilang itu panci bukan buat siapa-siapa, tapi memang buat saya sendiri.

Tapi dari guyonan  itu …… saya bisa berkenalan dekat  dengan pramugari yang bernama Vanatari itu. Sekarang , kalau saya butuh peralatan dapur atau bahan masakan dari luar negeri, tinggal titip saja pada Vanatari. Ssst…. tapi, untuk nama yang satu itu, saya tak bilang-bilang pada istri….


ANDRY HARIANA – JAKARTA
Dimuat di Majalah Femina no. 23 - 5 Juni 2008

2 komentar:

  1. Baru tau gw kalo elu suka masak juga. kirain cuma gw jurnalis yang suka masak. hahaha...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ajarin dong oom Udin, supaya jadi blogger beneran. hahaha

      Hapus